Translate

Sabtu, 25 Juni 2011

untuk yang pernah ada


Jika menyayangimu adalah salah, maka biarkan aku mengulang setiap kesalahan itu. Agar kau selalu memahami, jika aku benar-benar sungguh menyayangimu….
           
Pagi itu, kali pertama yang aku rasa mungkin agak sedikit berbeda. Haha, aku tidak tahu pastinya. Tapi rasanya, saat itu mungkin ada suatu debaran jantung yang tidak karuan. Berdegup layaknya derap langkah kaki para peserta paskibraka.
Ah, aku rasa ada yang bermasalah dengan jantungku. Kau tahu? Itu mungkin karena pengaruh tingkah laku konyolmu terhadap teman-temanmu.
Aku segera berlalu, takut kalau-kalau saja tingkahmu tadi malah ingin membuatku ingin memukulmu.
**
Hmm, mengapa rasa minumku kali ini agak sedikit pahit? Oke, bukan agak lagi, tetapi sangat pahit. Teman-teman malah menertawakanku. Terang saja, mau bagaimanapun, air putih ya tetap akan menjadi air putih. Tolol, bodoh! Yang tadi aku minum hanya segelas air putih. Lalu bagaimana bisa rasanya bisa sepahit itu?  Entahlah, aku anggap itu semua karena kau. Karena ulah kau.
Setan di kepalaku lalu muncul dan bertanya, “memangnya dia kenapa?”
Tapi tunggu, hei! Tadi apa yang aku bilang? Karena dia? Kenapa aku bisa menyalahkan dia? Sedang dia hanya bermain dengan teman-sekelas-perempuannya. Tolong dicatat, TEMAN-SEKELAS-PEREMPUANNYA.
Ada apa sih dengan aku? Sedang dia saja mungkin belum tentu melihatku tadi.
Aneh, debaran jantung itu muncul lagi.
**
Sial, kenapa hari ini waktu berjalan lambat sekali? Apa waktu itu tidak bosan? Aku saja sudah bosan kalau waktu mulai berjalan begitu pelan. Heran.
Setan di kepalaku muncul lagi. Mengajakku bernegosiasi. Lalu, tanpa aba-aba lagi aku langsung meminta izin pada guru yang sedang mengajar, alih-alih ingin ke toilet malah singgah di tempat surganya para siswa. Kantin.
Memang, saat itu sedang berlangsung jam pelajaran. Dan kau tahu pelajaran apa yang tengah aku ikuti dan juga aku duai dengan kantin? Ya, FISIKA.
Bingung saja, kenapa ada orang yang mau menamai fisika? Dan kenapa banyak sekali rumus di pelajaran ini dengan jalan jawaban yang entah seberapa panjangnya lalu mendapatkan hasil yang sedemikian kecil?
Jangan tanya seberapa cintanya aku kepada pelajaran yang satu ini. Jangan tanya berapa nilai yang aku dapatkan dalam pelajaran ini. Tidak, tidak akan aku beritahu. Sedang aku yang melihatnya saja sudah malu, apalagi kalian.
Alih-alih memikirkan fisika. Debaran jantung itu muncul lagi.
Kau. Kau datang lagi. Dengan sikap yang terkesan cuek, malah membuatku tak bisa henti menatapmu.
“Berhenti mengatakan itu lagi!” Erang ku dalam hati. Tidak, aku tidak berbohong. Kenapa debaran itu muncul lagi? Entah, aku gelengkan kepala kuat-kuat. Lalu entah keberanian darimana, aku langsung berlari menaiki tangga, masuk ke dalam tempat-yang-mulai-membuatku-stres.
**
Senin itu, seperti biasa. Beruntung kali ini aku agak cepat datang, jadi tidak perlu berolahraga kecil dulu saat memasuki gerbang sekolah.
Bel tidak terdengar dari arah kelasku. Yang membuat aku-serta teman yang lain kocar-kacir menuju lapangan.
Kau. Kenapa muncul lagi? Kenapa disaat yang seperti ini kau muncul lagi? Kenapa debaran ini muncul lagi?
Ah, kau memang susah ditebak.
Sorakan riuh dari penjuru sekolah membuat anak-anak di kelasku melongo ke bawah. Aku tentu tidak ingin ketinggalan.
Surga dunia, besok libur. Ya, LIBUR. Haha, senang rasanya satu hari besok bisa di lalui tanpa pemerasan otak (baca : belajar).
Hei, kau muncul lagi. Tentu saja dengan teman-teman sekelasmu-termasuk-teman-perempuanmu.
Aku mendengus. Debaran itu muncul lagi, tapi langsung hilang bersamaan dengan dengusanku tadi.
Tunggu, apa tadi? Debaran itu langsung hilang bersamaan dengan dengusanku? Bodoh.
Sebegitu parahkah sikapmu tadi? Hingga debaran itu hilang bagai ditelan surya seiringan dengan dengusan “kecil” ku tadi.
**
Surga dunia ini terkacaukan dengan kegiatan kecil di sekolah ku. Ya, aneh juga sebenarnya. Dulu aku begitu mengharapkan kegiatan yang seperti ini. Tapi jika harus mengganggu surga duniaku? Ah, tentu aku akan kesal.
Kesalku itu ternyata tidak seburuk yang aku kira. Aku bertemu lagi, dengan kau. Ya, dengan kau Sesalku kini hilang entah kemana dan berubah menjadi angan-angan agar kegiatan ini berlangsung agak lama.
Egoiskah aku? Entah, tapi yang jelas kini aku hanya ingin memiliki sedikit waktu lebih lama untuk melihatmu. Lebih lama lagi.
Ah, tapi sayang. Sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak padaku. Kau lantas hilang bak di telan bumi. Aku seperti orang dungu yang mencari bintang di siang hari.
Raut wajahku yang semula cerah, senang langsung berubah keruh, mendung. Seperti hari saat itu, mendung.
Sampai kegiatan selesai, kepalaku rekor di tekuk terus.
**
Hari ini penyiksaan otakpun di mulai kembali. Dan yak, pagi itu aku harus berolahraga kecil lagi berebut seperti anak ayam ingin masuk kandang.
Tepat, di saat anak tangga terakhir aku injak. Kau, muncul lagi. Kali ini tidak dengan temanmu. Tidak dengan teman-sekelas-perempuanmu. Kau hanya berdiri mematung, sendiri.
Sejenak aku berhenti. Mulai menelusurimu dari atas sampai bawah. Aneh saja rasanya, tapi debaran itu muncul lagi. Lain dari debaran sebelumnya, debaran kali ini cukup kuat. Cukup kuat agar aku harus memegang dadaku sendiri.
Kau berbalik, aku langsung kaget. Kau menatapku seakan aku adalah secuil kuman yang memang harus diteliti agar dapat dibuang, jauh. Sontak aku berjalan cepat ke arah kelasku.
Malu saja, jika kau mendapatiku sedang melihat ke arahmu.
Entah aku saja yang merasakan atau teman ku juga, tapi sepertinya temanku yang satu ini seperti memiliki telepati yang kuat lalu berkata, “mukamu kenapa merah seperti itu?”
**

            Hari ini kita bertemu lagi. Hei, apa ini artinya…? Ah lupakan.
            Tugas ini harus dikumpulkan hari ini, dan aku harus mencari guru-menyebalkan itu. Haah, guru ini kenapa lama sekali mengajarnya? Sedang waktu pulang saja sudah berdering sedari tadi.  Alih alih menunggu guru ini bersama teman-temanku, aku… melihatmu lagi.
            Entah setan apa yang mempengaruhi aku ini, tapi sejujurnya debaran ini muncul lagi. Kau… kenapa begitu tampak mempesona dengan balutan baju sekolahmu yang kusut itu. Kau, begitu mempesona dengan permainanmu itu. Tiba-tiba suara kecilku berbisik pada temanku. Dan oh tidak, mereke sudah tau. Mereka tau kalau aku memiliki rasa-berbeda dengan kau. Entah, apa ini memang sudah jalannya atau memang takdir yang sedang mempermainkanku. Yang jelas, ketika akan pulang. Temanku yang satu ini jauh lebih dulu berpikir agak cepat. Aku tau, temanku ini mempunyai maksud baik. Tapi jelas saja, pada akhirnya aku yang terpojok. Aku yang merasakannya.
            Temanku bilang, kau sudah memiliki dia. Sungguh, bukannya bermaksud cengeng atau berlebihan atau apalah. Debaran itu tiba-tiba menghilang. Beralih ganti menjadi sesuatu yang menyesakkan dada. Entah apa yang aku rasa saat itu, yang jelas aku-sangat-ingin-menghilang dan kembali ke masa saat aku belum pernah bertemu kau.
            Aku tau, ini bukan lagi sekedar batas “suka”. Ini sudah berada satu tingkat di atas suka. Ya, kalian tentu tau itu.
            Teman-teman berusaha menghiburku, menguatkanku. Aku kuat kok, sungguh. Pekikku dalam hati. Aku berusaha untuk tersenyum, berusaha tegar. Tapi entah setan mana lagi yang menghampiriku, air mata ini jatuh begitu saja. Haha, cengeng kedengarannya. Tapi mau bagaimana lagi, sifat aku memang begini. Sensitive. Tuhan, kuatkan aku. Doaku dalam hati.
            Saat di angkot, mungkin sopirnya ini memang sudah bekerja sama dengan setan agaknya. Karena kalian tau apa? Sedari tadi lagu yang di putar hanya lagu-lagu mellow saja. Yang lebih jengkelnya lagi, lagu ini pas dengan suasana hatiku yang sedang galau. Memang sudah begini dasar akunya yang cengeng, air mata ini tetap tidak bisa tertahan. Keluar begitu saja.

** To be continue**
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML