Kata orang, “jika sesuatu itu terlalu
sulit untuk diucapkan, maka tulislah”. Aku percaya dengan kalimat ini. Cuma kini
rasanya berbeda. Rasanya terlalu sulit untuk diucapkan dan sangat sulit untuk
ditulis. Kadang aku pikir, dengan tangisan mungkin akan menjadi sesuatu yang
lumayan melegakan karena baik lisan maupun tulisan sudah tidak dapat menampung
rasa ini.
Seringnya, saat bertemu dengan
dia, juga mereka. Sesuatu itu seakan hilang, lenyap seketika. Merasa tidak ada
yang perlu dicemaskan, dipikirkan. Namun setelahnya, saat dimana hanya ada aku
dan sebuah saksi bisu petak berukuran 3x3, pikiran itu timbul lagi. Melayang membuat
seolah-olah hanya kesendirian yang selalu menghantui. Logikanya, tidak mungkin diri ini menjadi
begitu egois untuk terus menginginkan-bersama dia, juga mereka.
Setiap orang pasti memiliki titik “the highest”. Titik dimana semua hal dianggap sudah tidak ada yang mampu mendukung adaptasi kita. Tidak mampu lagi menjadi penampung beban yang selama ini tersimpan. Merasa seolah-olah mengapa semua ini terjadi secara runtun menghinggapi diri kita. Membuat diri kita benar-benar bingung harus berbuat apa.
Orang bilang, yang suka menangis
itu cengeng. Tapi aku pikir, itu bukan suatu hal yang selalu harus dianggap
cengeng. Aku pikir, kadang orang memiliki batas "menahan" yang ada. Tidak
selalu orang itu bisa bertingkah kuat. Yaa, walaupun kenyataan memang begitu. Maksudku,
bersikap tegar atau seolah-olah tidak ada hal berat yang sedang dia hadapi. Dan
jika sudah pada saatnya, orang itu berada dalam kesendiriannya barulah
ketegaran itu mulai goyah. Mau bibir sampai ditahan atau digigit sekeras apapun
hingga berdarah hanya untuk menahan agar air mata tidak jatuh, tetap saja sisi
rapuh ini pasti akan memaksa keluar. Terus memaksa hingga segala yang terpendam
dapat merelaksasikan pikiran bahkan jiwa menjadi lebih baik.
Sometimes things aren’t exactly
how you always imagined. But they’re even better.