Kau bilang,
semuanya begitu mendadak. Seakan
gempa besar itu tak pernah terjadi, namun tiba-tiba tsunami menerjang
meluluhlantakkan kepinganmu yang awalnya masih utuh. Kau bilang betapa mudahnya
aku bertindak, seakan kau hanya mainanku yang bisa kapan saja ku buang. Kau
bilang sisiku sekarang berbeda dengan sisiku yang dulu, seakan-akan aku memiliki
bebagai macam tipu muslihat sisi yang bisa ku ubah begitu saja. Kau bilang
bukan salahku, namun aku tau kau anggap kesalahan terbesar ada di pikiranku. Kau
bilang semuanya berubah, sejak kita tak lagi satu. Satu dalam ikatan yang
sama. Kau bilang semuanya begitu indah, dulu. Namun seketika berubah berbalik
180 derajat. Kau bilang aku mudah merangkai kebohongan, kebohongan yang kau
anggap membuatmu semakin kecewa. Kau bilang aku tak pernah peduli, sedang
ucapmu berkata hanya dirimu yang selalu peduli. Kau bilang aku tak pernah
memikirkan bagaimana rasanya berada di posisi yang kau rasakan, singkat kata
aku egois. Kau bilang karena dia, kau menjadi tak ku indahkan. Kemudian kau
anggap, semuanya masih bisa diperbaiki. Kembali seperti dulu lagi.
Lalu ku bilang,
Semuanya memang begitu mendadak.
Dan apa kau pikir kepingku tak retak juga layaknya kaca yang terkena lemparan
bola besi? Lebih, mungkin. Kau anggap aku mudah bertindak? Lalu kenapa aku
harus pusing memikirkan ini hingga tidurpun sudah tidak masuk kedalam rutinitas
terpentingku. Kau anggap aku memiliki banyak sisi yang bisa ku ubah kapan saja. Sisi mana saja yang sudah pernah ku perlihatkan? Sedang disini pikiranku sudah
tak karuan memikirkan tentang kamu, kita. Salahku, memang. Yang tidak bisa
bertindak seperti mereka yang dapat mempertahankan. Semuanya memang berubah,
dan faktor terbesar yang menyebabkannya adalah waktu. Juga keadaan. Kau anggap
semuanya begitu indah, dulu. Kembali lagi ke kedua faktor yang sudah ku ucap. Kau
anggap aku mudah merangkai kebohongan, sedang kejujuran selalu ku ungkap.
Kepercayaan, itu yang salah. Kau anggap aku tak peduli, sedang kepedulian yang
kutunjukkan berbeda dengan caramu. Berbeda dengan cara mereka. Kau anggap aku
tak pernah memikirkan bagaimana berada di posisi yang kau rasakan, sedang
disana apa kau pernah merasakan bagaimana berada di posisiku? Berpikir dan
terus berpikir. Lalu kau anggap disini aku
hanya bersenang-senang tanpa harus memikirkan ini. Sikap ku egois. Entahlah kau
anggap aku apa. Kau anggap semuanya karena dia, sedang kejujuran yang pernah ku
ucap aku rasa tak pernah kau percayai. Kau anggap semuanya bisa diperbaiki
kembali. Sedang disini aku takut, takut karena tak bisa memperbaiki itu. Karena
dari semua ke-anggap-an-mu mengisyaratkan bahwa aku salah. Dan ketakutan itu
muncul karena takut segala anggapan itu kembali menghampirimu. Berulang kembali
dan lagi. Kemudian kau anggap semuanya yang ku ucap begitu mudah ku lontarkan.
Lalu kau anggap, sudah berapa malam yang kuhabiskan untuk memikirkan ini?