Di sudut ruangan, perempuan itu
selalu duduk. Menghadap ke arah cahaya yang mulai redup. Setiap selasa sore,
dengan sebuah laptop dan sebuah buku yang selalu sama. Tidak, aku tidak
menguntitnya. Hanya saja, secara tidak sengaja di suatu hari mataku 'menangkap'
perempuan itu. Perempuan yang selalu berdandan ala vintage.
Dengan rambut yang selalu di gerai
tanpa merasa risih sekaligus gerah, perempuan itu terus berkutat dengan
laptopnya seakan-akan ada benang yang mengikat matanya terhadap layar laptop
tersebut. Sesekali dia menatap nanar ke arah datangnya cahaya. Awal itu, aku
tidak terlalu peduli. Namun lambat laun setelah 'hafal' dengan kebiasaannya,
aku menjadi sedikit penasaran sekaligus bingung. Berbagai macam pertanyaaan
seketika melintas di otakku. 'apa yang dia lakukan dengan laptopnya? mengapa
tatapan matanya begitu nanar, sedih? apa dia tidak bosan setiap minggu
menghabiskan waktu hingga perpus ini tutup?" pertanyaan inipun lalu
menguap seiring dengan ketidakberaniannya aku untuk sekedar menyapanya.
Minggu ketujuh ini, perempuan itu
datang lagi. Masih dengan laptop dan bukunya yang selalu sama. Tepat disudut
ruangan itu. Kali ini, hati ku benar-benar memberontak. Karena itu, akupun
memilih untuk duduk tepat berada disampingnya. Penasaran dengan apa saja hal
yang akan dia lakukan[lagi]. Kaget? Tentu. Betapa tidak, perempuan itu ternyata
hanya memandangi pantulan fotonya sendiri yang sepertinya dijadikan sebagai wallpaper dekstop nya. Lalu berbagai
pikiran berkecamuk kembali di otakku. ‘Apa perempuan ini sudah gila, memandang
itu setiap saat’
Minggu-minggu selanjutnya, tak lagi
terlihat batang hidung perempuan itu. Padahal aku sengaja meluangkan waktu
setiap minggu untuk sekedar melihatnya. Tampaknya perempuan itu sudah menjadi
candu dalam pikiranku. Minggu selanjutnya lagi, berharap perempuan itu muncul
dengan gayanya yang sudah sangat khas. Namun pupus, perempuan itu tidak muncul
lagi. Helaan nafasku ini muncul lagi, menandakan betapa inginnya ku melihat
perempuan itu walau hanya sedetik saja.
Entah kebetulan atau tidak, perjalanan
ku menuju rumah kali ini terasa begitu beda. Di persimpangan, kala itu hujan,
aku menatap ke arah jalanan yang sepi. Perempuan itu, aku melihatnya kembali. Dia,
dengan gaya khasnya tampak sedang berlari-lari kecil berputar mengelilingi
jalan sambil menengadahkan tangannya ke atas seakan hujan memberinya sesuatu
yang indah.
Mendadak senyumku kembali merekah. Satu
lagi hal yang aku tau, hujan dan dia, tidak dapat dipisahkan.